Friksi Dagang, Ketidakberdayaan WTO, dan Pragmatisme ASEAN

20 hours ago 6
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

DI tengah kondisi perlambatan ekonomi dan ketidakpastian global akibat krisis geopolitik dan keamanan, pemberlakuan tarif bea masuk Donald Trump awal bulan ini memasuki babak baru friksi perdagangan Tiongkok-Amerika Serikat (AS). Trump menyebutnya sebagai reciprocal tariff atau tarif timbal balik. Secara sederhananya dapat dipahami jika sebuah negara memberlakukan bea masuk maka AS pun akan mengenakannya.

Friksi perdagangan ini sudah dimulai sejak awal 2018. Kala itu, Trump memulai kebijakan tarif terhadap Tiongkok dengan berbagai alasan seperti defisit perdagangan AS yang besar, tuduhan praktik perdagangan tidak adil dan memaksa Tiongkok mengubah praktik industrinya.

Kini, friksi dagang memasuki babak baru, ketika pada 1 Februari 2025 Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif impor dagang dari Tiongkok sebesar 10%. Tiga hari setelah itu, Tiongkok membalas dengan tarif 15% pada batu bara dan gas alam cair serta 10% pada minyak mentah, mesin pertanian, dan mobil bermesin besar. Perang tarif kian sengit terjadi pada April 2025. Hingga yang terakhir AS kenakan tarif 245% kepada Tiongkok.

Bagi Tiongkok secara formal, memberlakukan tarif balasan adalah bentuk respons defensif terhadap tarif awal yang diberlakukan oleh pemerintahan AS. Tampaknya Tiongkok kali ini jauh lebih siap ketimbang saat perang tarif di 2018. Tiongkok merespons dengan tarif balasan yang lebih besar dan fokus pada aksi konkret. Langkah Presiden Xi Jinping melakukan kunjungan ke ASEAN pekan lalu, misalnya, merupakan langkah konkret dalam mempererat hubungan ekonomi dan dagang dengan ASEAN.

Dalam kunjungannya ke Malaysia, kedua negara sepakat untuk memperpanjang kebijakan bebas visa dalam 5 tahun ke depan. Kesepakatan itu merupakan salah satu dari total 31 kesepakatan yang ditandatangani. Dalam lawatan ke Vietnam, Presiden Xi Jinping menandatangani sekitar 40 kesepakatan. Salah satunya termasuk perjanjian yang mendukung rencana Vietnam untuk memperoleh pinjaman dari Tiongkok untuk membiayai sebagian proyek rel kereta senilai US$8,3 miliar, yang akan menghubungkan wilayah utara Vietnam dengan Tiongkok. Presiden Xi Jinping berhasil menunjukkan bahwa Tiongkok merupakan mitra dagang dan ekonomi yang fair serta tepercaya.

KETIDAKBERDAYAAN WTO

Yang harus dibaca para pemimpin, perang tarif ini bukan sekadar perang dagang atau ekonomi. Ini adalah persaingan kekuatan besar global untuk menunjukkan dominasi. Lalu, apakah publik masih bisa berharap kepada WTO sebagai organisasi internasional yang bertugas menjalankan fungsi-fungsi administratif global dalam sektor perdagangan?

Sayangnya, sejak dimulainya friksi dagang ini, WTO tak berdaya dan mengalami kelemahan sistemik, terutama dalam mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement body). Hal itu dimulai ketika AS secara sepihak memblokir penunjukan hakim baru pada Appellate Body, proses hukum WTO terhenti. Hal ini mencerminkan kelumpuhan fungsi administratif dan yudisial dari organisasi internasional tersebut.

Dari kacamata teori, kegagalan ini mengindikasikan krisis legitimasi dan efektivitas kelembagaan. Ekonom dan peraih Nobel, Joseph E Stiglitz, yang belum lama ini memberikan kuliah umum di Departemen Kebijakan Publik dan Menajemen Universitas Tsinghua, mengatakan dalam bukunya bahwa sistem global saat ini ‘didominasi oleh kekuatan ekonomi-politik yang menggunakan aturan internasional hanya jika sesuai dengan kepentingan mereka sendiri’ (Stiglitz, 2002, Globalization and Its Discontents, p. 62).

Ketika negara besar mengabaikan aturan kolektif, administrasi internasional kehilangan fungsi utamanya sebagai fasilitator dan pengatur. Friksi dagang AS-Tiongkok ini juga memperlihatkan bahwa asimetri kekuasaan antarnegara merusak prinsip multilateral dalam WTO.

Dalam konteks administrasi publik internasional, kondisi ini disebut sebagai disembedded administration ketika sistem administrasi internasional tidak lagi tertanam secara fungsional dalam norma dan struktur keadilan global. Ketika negara hegemon seperti Amerika Serikat tidak lagi menghormati sistem yang mereka bantu bangun, lembaga seperti WTO hanya menjadi kerangka normatif tanpa otoritas substantif. Stiglitz mengkritik keras bentuk globalisasi semacam ini dengan mengatakan, Globalization has been managed in a way that disproportionately benefits advanced industrial countries, especially the United States, at the expense of developing countries.”

NETRALITAS DAN PRAGMATISME ASEAN

Dampak dari friksi ini tentu tidak terhindarkan, termasuk ASEAN dan terutama Vietnam, Singapura, Malaysia yang memiliki integrasi ekonomi global. Namun, ada beberapa alasan kenapa ASEAN akan diuntungkan di tengah kondisi ini.

Pertama, diversifikasi rantai pasok. Dengan kondisi yang ada, hal ini mendorong perusahaan multinasional untuk mengurangi risiko dengan mendiversifikasi rantai pasok mereka. Negara-negara ASEAN, dengan biaya tenaga kerja yang kompetitif dan lokasi strategis, menjadi destinasi utama untuk relokasi produksi manufaktur. Strategi ini dikenal sebagai ‘China+1’, di mana perusahaan mempertahankan operasi di Tiongkok sambil menambahkan fasilitas di negara lain untuk mengurangi ketergantungan pada satu sumber. Terbukti, perusahaan seperti Apple, Qualcomm, dan Intel mempertimbangkan relokasi sebagian produksi dari Tiongkok ke negara lain seperti Vietnam.

Kedua, ASEAN memiliki berbagai perjanjian perdagangan bebas, termasuk Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang mencakup 30% dari PDB global. Keanggotaan dalam perjanjian ini meningkatkan daya tarik ASEAN sebagai basis produksi dengan akses preferensial ke pasar besar.

Ketiga, tentu stabilitas. ASEAN menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang konsisten. Dengan populasi 663.9 juta jiwa, atau setara 9% dari total populasi dunia, menjadikannya pasar yang menarik bagi investor. Terlebih secara demografi, ASEAN memiliki populasi relatif muda dengan tingkat literasi digital yang relatif tinggi, yang menjadi daya tarik investor. Mengamankan pasar ASEAN artinya mendapatkan potensi konsumsi masa depan dan tenaga kerja yang melimpah.

Untuk menangkap peluang ini tentu tidak sederhana dengan masih adanya tantangan seperti gap infrastruktur dan regulasi. Kuncinya terletak pada perbaikan regulasi dan reformasi kebijakan publik yang menciptakan iklim usaha yang transparan, stabil, dan efisien.

Pertama, tentu kepastian hukum, hukumnya wajib. Negara-negara ASEAN perlu menyederhanakan peraturan investasi, menghindari perubahan kebijakan yang tiba-tiba, dan menjamin perlindungan hukum bagi investor. Namun, beberapa negara termasuk Indonesia memiliki PR besar terkait dengan hal ini. Berita tentang gangguan ormas terhadap investasi perusahaan kendaraan listrik (EV) BYD asal Tiongkok di Jawa Barat sangat disayangkan. Dampak terbesarnya, selain gagalnya investasi itu, preseden buruk bagi Indonesia tidak dipercaya lagi oleh investor domestik maupun luar negeri. Pasalnya BYD merupakan perusahaan besar, jika benar-benar gagal investasi ini, berita kegagalan tersebut akan menjadi perhatian besar publik.

Kedua, transparansi dan efisiensi prosedural, penggunaan sistem elektronik untuk proses perizinan, pelaporan pajak, dan pengawasan kepabeanan menjadi instrumen penting dalam memerangi birokrasi yang berbelit. Dalam hal ini, Singapura adalah yang paling konsisten dengan kebijakan pro-investasi dan transparansi tinggi menjadikannya sebagai tujuan utama investasi asing di kawasan. Hal ini juga harus menjadi perhatian bagi beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia. Berdasarkan indeks Ease of Doing Business, Indonesia masih kalah jauh di bawah Singapura, Thailand, dan Malaysia. Efisiensi prosedur seperti perizinan harus dipangkas untuk mempercepat proses yang berbelit-belit. Lebih mendasar lagi ialah reformasi berokrasi secara keseluruhan.

Ketiga, insentif investasi yang terukur dan selektif. Pemberian insentif fiskal (seperti tax holiday) atau nonfiskal (seperti penyediaan infrastruktur kawasan industri) perlu disesuaikan dengan sektor-sektor prioritas, misalnya teknologi, manufaktur ...

Read Entire Article