Petugas membawa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (tengah) menuju mobil tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Kejaksaan Agung, Jakarta, Sabtu (12/4/2025). Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka kasus dugaan suap terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, antara lain Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan, advokat Marcella Santoso, serta advokat Arianto.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menerangkan perihal status hukum yang menjerat para tersangka dalam penerimaan suap dan gratifikasi sebesar Rp 60 miliar terkait kasus CPO. Penerimaan uang haram tersebut untuk pengaturan vonis lepas atau onslag untuk korporasi yang menjadi terdakwa korupsi perizinan ekspor CPO pada 2022 lalu.
Qohar menerangkan, bermula dari adanya pertemuan yang berujung pada kesepakatan antara Ariyanto (AR) selaku pengacara korporasi yang menjadi terdakwa korupsi izin ekspor CPO di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, dengan Wahyu Gunawan (WG) selaku Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara. Tiga korporasi minyak goreng yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi izin ekspor CPO tersebut adalah Permata Hijau Group, Musim Mas Group, dan Wilmar Group.
AR, kata Qohar, meminta WG mengurus perkara korupsi korporasi minyak agar diputus onslag. AR menjanjikan akan menyiapkan uang Rp 20 miliar kepada WG. Dari kesepakatan tersebut, WG menyampaikan kepada Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang saat itu sebagai wakil ketua PN Tipikor Jakpus agar perkara korupsi terdakwa korporasi tersebut diputus onslag.
“MAN menyetujui agar perkara tersebut diputus onslag. Namun dengan meminta uang Rp 20 miliar yang dijanjikan AR dikalikan tiga sehingga totalnya menjadi Rp 60 miliar,” kata Qohar.
WG menyampaikan permintaan MAN tersebut kepada AR agar menyiapkan ‘amunisi’ Rp 60 miliar tersebut. AR, kata Qohar, menyetujui permintaan Rp 60 miliar tersebut.
Selanjutnya, setelah menyetujui nominal itu, AR menyerahkan Rp 60 Miliar itu kepada WG dalam bentuk pecahan dolar AS. Kemudian, kata Qohar, WG menyerahkan uang pecahan dolar setara Rp 60 miliar itu kepada MAN. Setelah MAN menerima uang tersebut, WG diberi jatah 50 ribu dolar AS sebagai uang jasa penghubung dengan AR.
“Jadi WG pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” kata Qohar.
Setelah menguasai uang pemberian AR melalui WG itu, MAN atas jabatannya selaku wakil ketua PN Tipikor Jakpus membentuk komposisi majelis hakim untuk memeriksa perkara para terdakwa korporasi tersebut. “Dengan komposisi Djuyamto sebagai ketua majelis hakim, kemudian Ali Muhtarom sebagai hakim adhoc, dan Agam Syarif Baharuddin sebagai anggota majelis,” ujar Qohar.