Presiden Palestina, Mahmud Abbas (kiri) dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu (kanan)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ini bukan sebuah kesalahan lidah, melainkan sebuah kesalahan nasional dan moral yang dilakukan oleh Mahmoud Abbas (Abu Mazen) dalam pernyataannya baru-baru ini.
Dia melancarkan serangan tajam terhadap Perlawanan Palestina di Gaza, yang dipimpin oleh Gerakan Perlawanan Islam, Hamas, yang memicu gelombang kemarahan dan kontroversi yang meluas di kalangan masyarakat dan pengguna media sosial.
Hal ini terjadi pada saat pembukaan sesi ke-32 Dewan Pusat Palestina (PCC), di mana dia menuntut agar tawanan Israel yang ditahan oleh Perlawanan diserahkan.
Dia menggunakan bahasa yang menghina dan tidak pantas terhadap Perlawanan ketika melakukan hal itu, alih-alih mengarahkan tuduhannya kepada entitas Zionis dan menuntut agar mereka berhenti melakukan pembantaian dan serangan berulang kali terhadap rakyat Palestina.
Dalam sebuah pernyataan yang memicu kontroversi luas, Komite Sentral Fatah meminta Gerakan Perlawanan Islam, Hamas, untuk "berhenti mengarahkan nasib rakyat Palestina sesuai dengan agenda-agenda asing".
Komite Sentral menganggap Hamas bertanggung jawab karena menghalangi proses nasional Palestina, dan menuntut Hamas untuk mematuhi apa yang disebutnya sebagai upaya-upaya Mahmoud Abbas dan mematuhi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Menurut para pengamat dan analis, pernyataan-pernyataan ini, yang bertepatan dengan meningkatnya serangan brutal Israel ke Jalur Gaza dan krisis nasional yang memburuk, mencerminkan pergeseran prioritas politik Otoritas Palestina dan merupakan upaya berbahaya untuk mengalihkan tanggung jawab atas krisis ke pihak Perlawanan daripada menghadapi Penjajah.
Pernyataan Komite Sentral Fatah tidak bisa dilepaskan dari jalan yang telah ditempuh Otoritas Palestina selama bertahun-tahun, dalam bentuk koordinasi keamanan dengan Penjajah Israel, penganiayaan terhadap para pejuang Perlawanan di Tepi Barat, dan mendistorsi citra perlawanan bersenjata dalam berbagai bentuk, dengan dalih "kepentingan nasional" dan "legitimasi internasional".