
Seorang guru honorer swasta bernama Hedi Ludiman (49) dan istrinya, Evi Fatimah (38), jadi korban mafia tanah. Sudah 12 tahun mereka berjuang agar sertifikat tanahnya kembali.
Awalnya ada orang yang mau mengontrak rumah Evi tetapi yang terjadi selanjutnya sertifikat dibalik nama dan diagunkan ke bank. Satu pelaku sudah dipidana dan satu lagi buron. Tetapi sertifikat tetap dilelang oleh bank.
Dalam proses balik nama maupun lelang, BPN Sleman mengakui tak ada ukur ulang di objek tanah itu. Menurutnya itu sudah sesuai prosedur.
"Kalau balik nama enggak (diukur ulang), ada balik nama itu salah satu persyaratan yang hanya dasar untuk balik nama. Balik nama kan bisa karena waris, bisa jual-beli, bisa hibah, APHB (akta pembagian harta bersama), ini kan pakai lelang (soal saat bank lelang)," kata Kepala BPN atau Kantor Pertanahan Sleman Imam Nawawi, di kantornya, Rabu (14/5).
Termasuk pada kasus yang pertama saat sertifikat Evi beralih nama ke calon pengontrak. Tak ada pengukuran.
"Enggak, tanpa pengukuran, balik nama itu tanpa pengukuran," katanya.
"Itu kan sudah bersertifikat, tinggal di balik nama, berdasarkan dasar akta peralihan tadi," jelasnya.
Apabila tanah sudah bersertifikat maka pengukuran ulang dapat dilakukan kalau ada permohonan atau pengembalian batas.
"Nah kalau sekarang modal sertifikat elektronik itu pakainya penataan batas. Nah itu baru ukur ulang. Atau ganti blanko lama ke baru, kalau belum terpetakan belum masuk sistem KKPK itu bisa dilakukan pengukuran ulang," ujarnya.
Ia pun menuturkan tugas notaris dan PPAT saat terjadi jual beli tanah.
"Notaris lakukan pengecekan, pengecekan clear, enggak ada masalah, enggak ada catatan apa-apa, baru notaris PPAT, PPAT itu melakukan membuat akte peralihannya," terangnya.
Imam kembali menegaskan selama proses itu tak ada petugas BPN yang turun ke lapangan. "Enggak ada," katanya.
Kasus Hedi dan Evi

Hedi dan Evi telah berjuang selama 12 tahun melawan mafia tanah. Yang jadi objek adalah tanah seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah di Pedukuhan Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman.
Hedi adalah guru honorer di SMK swasta, gajinya Rp 150 ribu per bulan. Untuk menopang kesehariannya dia juga bekerja jadi montir bengkel.
Bermula Tahun 2011
Sekitar 2011, Evi kedatangan ibu dan anak yang hendak mengontrak rumahnya untuk usaha konveksi. Saat itu, Evi masih tinggal di Seyegan, Sleman, di rumah keluarga Hedi. Rumah di Paten ini memang biasa disewakan saat itu.
"Ada dua orang SJ (laki-laki) dan SH (perempuan), mau mengontrak terus akhirnya ketemu istri saya tahun 2011. Mau ngontrak rumah selama 5 tahun. Setahunnya Rp 5 juta. Selama 5 tahun maka Rp 25 juta," kata Hedi ditemui di rumahnya, Senin (12/5).
Saat itu sudah ada kesepakatan harga. Rencananya SJ dan SH akan mulai menempati pada 2012. Dalam proses ini, SJ dan SH membujuk Evi untuk memberikan sertifikat tanahnya sebagai jaminan sebelum menempati rumah.
"Sertifikat sudah saya serahkan ke SJ dan SH karena kan dia ngasih uang saya kan sebagai untuk kepercayaan karena dia takut saya lari. Jadi buat jaminan karena mau menyerahkan uang Rp 25 juta," kata Evi menambahkan.
Uang kontrakan dibayar dicicil dari Agustus sampai Desember 2011. Dalam rentang waktu itu. Evi dibujuk untuk datang ke kantor notaris di Kalasan, Sleman. Alasan dari SJ dan SH adalah untuk tanda tangan perjanjian mengontrak rumah.
"Yang ditandatangani itu saat itu tidak tahu (apa). Setengah kaya digendam atau dipaksa," kata Hedi.
Evi tak boleh membaca surat yang dia tandatangani. Oleh SH dia disuruh segera menandatangani. Tak ada firasat buruk, bahwa ini awal malapetaka yang dialami Evi dan keluarga.
Mei 2012 Bank Datang
Pada Mei 2012, pihak salah satu bank BPR datang ke rumah. Dari situ didapati informasi sertifikat bank tanah dan rumah ini telah diagunkan untuk utang senilai Rp 300 juta dan kreditnya macet.
Namun, saat itu sertifikat masih atas nama Evi. Bank saat itu juga menginformasikan sertifikat tengah dibalik nama.
Setelah itu, pada 1 Juni 2012, Hedi mengecek ke BPN ternyata sertifikat milik istrinya telah beralih ke atas nama SJ.
Satu Pelaku Dipidana
Hedi lalu melapor ke Polres Sleman terkait penipuan dan penggelapan. Akhirnya pada 2014, SH berhasil ditangkap polisi. Namun, SJ statusnya masih buron sampai saat ini
SH kemudian disidang di Pengadilan Negeri Sleman dan divonis 9 bulan kurungan penjara.
Dari persidangan itu pula, Hedi mendapati fakta ada kuasa jual hingga akta jual beli (AJB). Selain itu ada pula KTP palsu istrinya yang katanya dilegalisir oleh notaris di Kalasan.
Notaris tersebut kemudian dilaporkan ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) notaris. Menurut Hedi di sana notaris tersebut dinyatakan bersalah secara etik.
Gugat Perdata
Hedi kemudian menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Sleman baik itu SJ dan SH serta pihak bank.
Saat itu putusannya Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) atau putusan tidak dapat diterima karena gugatan mengandung cacat formil.
Saat itu dia hendak mengajukan banding. Namun pengacaranya pergi. Hedi juga melaporkan bank ke Ditreskrimsus Polda DIY namun SP3.
Meski sudah ada terpidana dalam kasus ini, tetapi sertifikat milik Evi pun tak kembali ke tangannya.
"Tidak ada (putusan sertifikat kembali), kan NO. Pengacara juga lari, saya mencari pengacaranya. Tidak berani kalau banding ini," terangnya.
Sertifikat Diblokir, Lelang Tetap Berjalan
Hedi sempat menunjukkan surat-surat BPN Sleman bahwa sertifikat tanahnya diblokir. Namun ternyata tetap ada lelang oleh bank. Padahal setahu dirinya ketika sertifikat diblokir tak bisa ada lelang. Lelang itu dimenangkan oleh RZA.
"Kan diblokir di BPN, ternyata dalam prosesnya dibalik lagi. Dari SJ ke orang bernama RZA," katanya.
Kini sertifikat tanah dan bangunan dengan nilai aset sekitar Rp 5 miliar itu tak tahu rimbanya. Padahal tanah ini merupakan tanah warisan dan hingga saat ini masih ditempati oleh Hedi dan Evi bersama anak-anak mereka.
Harapan Hedi, sertifikat tanah milik istrinya bisa segera kembali. "Harapan saya untuk mengembalikan sertifikat atas nama istri saya," kata bapak tiga orang anak ini.