
BRICS (Brasil, Russia, India, China, South Africa) menyerukan reformasi menyeluruh terhadap institusi-institusi global seperti Dana Moneter Internasional atau IMF, Bank Dunia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), demi memperkuat posisi negara-negara berkembang dalam tatanan global yang dinilai semakin didominasi oleh kepentingan negara-negara maju.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa reformasi pada Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO juga menjadi sorotan utama, mengingat selama beberapa tahun terakhir, lembaga ini tak memiliki badan penyelesaian sengketa atau dispute settlement body yang berfungsi.
“Pada prinsipnya reform WTO itu penting, apalagi beberapa tahun terakhir WTO tidak punya dispute settlement body. Relatif setiap akan terbentuk itu terveto. Ini menjadi kepentingan semua negara untuk memperbaiki mekanisme yang ada,” ujar Airlangga saat ditemui dalam kunjungannya ke Brasil, Senin (7/7).
Ia menambahkan, menjelang Ministerial Meeting ke-14 WTO, seluruh duta besar negara anggota diminta sudah menyiapkan proposal konkret. “Jadi jangan sampai pada saat nanti itu jadi pertemuan yang gagal kembali. Kalau WTO itu tidak berhasil maka kita tidak bisa bicara mengenai multilateralisme, karena semua berubah jadi regionalisme, bilateralisme, atau bahkan seperti sekarang, unilateralisme," lanjut Airlangga.
Menambahkan Airlangga, Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir (Tata), menggarisbawahi kekuatan kolektif BRICS dalam mendesak reformasi sistem multilateral. “40 persen total populasi dunia itu anggota BRICS, sepertiga ekonomi dunia itu anggota BRICS. Sekarang kita BRICS bicara untuk Global South. untuk negara berkembang lainnya,” kata Tata.
Menurutnya, reformasi multilateralisme adalah keniscayaan agar negara-negara berkembang tidak hanya bisa bertahan tetapi juga maju dan berkembang.

BRICS juga mendorong perombakan dalam pembangunan keuangan global, terutama lembaga-lembaga warisan Bretton Woods seperti IMF dan Bank Dunia, yang dinilai lambat dalam proses reformasinya.
“Nah karena memang selama ini reform di dalam konteks Bretton Woods Institution itu sangat lambat, maka BRICS ambil inisiatif membentuk NDB (New Development Bank). Itulah opsi agar negara berkembang itu bisa address permasalahan pembangunannya, dan pembiayaan pembangunannya sendiri. Itu reform yang mau didorong BRICS dan negara berkembang,” ujar Tata.
Dalam kunjungannya ke Brasil, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto turut hadir dan menegaskan dukungan penuh Indonesia terhadap arah baru kerja sama BRICS.
“Kemudian outcomes daripada pertemuan tadi, salah satunya adalah leader declaration dan dalam leader declaration itu ada beberapa poin yang terkait dengan penguatan multilateralisme dan reform daripada global governance,” ujar Airlangga dalam keterangannya di Rio de Janeiro, Senin (7/7).
Poin kedua berfokus pada penguatan perdamaian dan stabilitas internasional, serta pendalaman kerja sama di bidang ekonomi, perdagangan, dan keuangan. Bagi Indonesia, agenda ini sangat penting dalam memperluas akses pasar bagi produk nasional dan menciptakan ketahanan ekonomi di tengah gejolak global.

Airlangga juga menyatakan bahwa poin ketiga dalam deklarasi menyangkut komitmen terhadap isu perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan yang adil dan inklusif. Negara-negara BRICS sepakat bahwa transisi energi dan pembangunan hijau harus tetap mempertimbangkan keadilan bagi negara berkembang.
Poin keempat dari Leaders’ Declaration adalah penguatan kemitraan dalam bidang pembangunan manusia, sosial, dan kebudayaan. Indonesia menilai kerja sama ini penting untuk mendorong transformasi sosial yang merata dan saling memperkuat di antara negara-negara anggota.