Perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara sejumlah negara di Amerika Latin dengan China, dinilai bisa mengancam keberlangsungan ekspor mobil buatan Indonesia. Dengan FTA tersebut, kendaraan listrik 'made in' China dapat makin menjamur di sana.
Berdasarkan laporan European Parliament, sejalan dengan transisi hijau dan popularisasi kendaraan energi baru (NEV), membuat kemitraan strategis kedua kawasan ini menguat. Pada 2023 lalu, China merupakan pembeli utama material lithium, copper, dan niobium dari Amerika Latin yang digunakan untuk bahan baku baterai alat elektronik hingga kendaraan listrik.
Permintaan lithium dari China ke Amerika Latin juga meningkat lantaran juga dibutuhkan bahan baku baterai untuk menyimpan energi dari angin, panel surya, atau sumber energi terbarukan lainnya. Sebagai gantinya, China banyak menyuplai kendaraan listrik ke sana.
Adapun beberapa negara yang memiliki kesepakatan dagang dengan China adalah Chili, Peru, Kosta Rika, hingga Nikaragua. Berdasarkan data Gaikindo, semua negara tersebut merupakan tujuan ekspor mobil Indonesia dengan penyerapan tinggi.
Lebih lanjut laporan Badan Energi Internasional menunjukkan, penjualan kendaraan listrik pada 2023 mencapai 90 ribu unit. Melonjak tajam hingga 96 persen pada tahun berikutnya mencapai 177 ribuan unit. Sementara prediksi tahun ini tetap mengalami peningkatan.
Salah satu faktor kuat yang membuat pasar mobil listrik berkembang di sana lantaran harga terjangkau model-model yang ditawarkan pabrikan China. Utamanya di Brasil dan Meksiko sebagai pemimpin pasar.
Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Nandi Julyanto menganggap hal tersebut harus mendapat perhatian serius, agar tetap bisa mempertahankan kinerja ekspor mobil-mobil utuh (CBU) dari Indonesia.
"Bulan lalu dari regional Amerika Latin datang ke kami dan mereka cerita, China kebanyakan telah free trade dengan negara-negara di Amerika Latin dan hasilnya mobil-mobil China di sana semakin naik," ungkap Nandi saat ditemui di Merauke, Papua Selatan, akhir pekan lalu.
"Mereka maunya mempertahankan share, mengusulkan free trade dengan negara-negara di Amerika Latin, karena kan future market di sana," terangnya.
Nandi melanjutkan telah berkomunikasi dengan pemerintah terkait hal tersebut. Namun tarif resiprokal Donald Trump membuat arah kebijakan belum pasti.
"Kita kan baru beberapa negara ada free trade (di Amerika Latin). Yang paling besar sebenarnya Meksiko ya, kami sudah komunikasi dengan pemerintah. Cuma memang dengan adanya tarif Trump wait and see semua, Meksiko juga mungkin paling terdampak. Kalau kena tarifnya sekarang semua mobil antre dari Meksiko," terangnya.