Revisi UU ASN: Ketika Kekuasaan Merenggut Meritokrasi

5 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
 Ketika Kekuasaan Merenggut Meritokrasi (MI/Duta)

BELUM lekang dari ingatan publik pengesahan UU No 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), kini kita kembali disuguhkan wacana revisi UU yang sama yang menyimpan api dalam sekam. Pasal yang dimaksud ialah Pasal 30 UU ASN. Di sana disebutkan, presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama, selain pejabat pimpinan tinggi madya, dan selain pejabat fungsional tertinggi kepada empat pihak.

Keempat pihak itu ialah menteri di kementerian, pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan sekretariat di lembaga negara dan lembaga nonstruktural, gubernur di provinsi, dan bupati/wali kota di kabupaten/kota.

SENTRALISASI KEWENANGAN

Dengan wacana revisi yang tengah disiapkan, kewenangan itu bakal berubah, yaitu ditarik ke tangan presiden. Inisiatif yang tergesa-gesa itu mengejutkan, langsung menyasar satu titik krusial, satu pasal: kewenangan mutasi untuk jabatan eselon I dan II yang berpindah tangan ke presiden. Sebuah langkah yang dengan dalih memperkuat meritokrasi dan membuka karier nasional bagi ASN berprestasi di daerah , yang justru berpotensi mengebiri otonomi daerah dan mengancam netralitas birokrasi.

Dalam lanskap politik dan birokrasi Indonesia, kita belajar dari sejarah bahwa kekuasaan dan pengetahuan sering kali berjalan beriringan, tetapi tak jarang pula bersitegang. Daniel Dhakidae, dalam magnum opus-nya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, dengan tajam menganalisis bagaimana rezim Orde Baru membangun kekuasaan mereka melalui kontrol wacana dan relasi yang kompleks dengan kaum intelektual. Revisi UU ASN itu, dalam perspektif Dhakidae, bisa jadi merupakan babak baru dalam dinamika kekuasaan tersebut, dengan birokrasi, sebagai salah satu pilar negara, kembali ditarik lebih dekat ke orbit kekuasaan pusat.

Inti revisi itu ialah mengembalikan kewenangan pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan (mutasi) ASN eselon I dan II, yang sebelumnya sebagian didelegasikan ke pejabat pembina kepegawaian di daerah, ke tangan presiden. Langkah itu, yang diklaim bertujuan memberikan ruang karier yang lebih luas bagi ASN berprestasi di daerah, justru memunculkan pertanyaan mendasar: apakah itu benar-benar tentang meritokrasi ataukah sekadar upaya untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan pusat terhadap birokrasi di seluruh negeri?

IMPLIKASI TERHADAP DEMOKRASI, MERITOKRASI, DAN ANTIKORUPSI

Implikasi sentralisasi kewenangan itu bisa sangat luas. Pertama, terhadap demokrasi. Semangat otonomi daerah yang diperjuangkan sejak era reformasi berpotensi terkikis secara mendasar. Kepala daerah, gubernur, bupati, dan wali kota, yang dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum, akan kehilangan sebagian kewenangan mereka yang signifikan dalam menentukan perangkat pemerintahan di wilayah mereka.

Kewenangan untuk mengangkat, memberhentikan, dan memindahkan pejabat eselon I dan II, yang mencakup posisi-posisi strategis seperti sekretaris daerah, kepala dinas, dan kepala biro di tingkat provinsi dan kabupaten/kota , akan ditarik ke pemerintah pusat, dalam hal ini presiden.

Itu bukan hanya sekadar persoalan efisiensi administrasi, melainkan juga sesuatu yang menyentuh akar representasi dan akuntabilitas kekuasaan di tingkat lokal. Otonomi daerah, yang merupakan amanat reformasi untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengelola urusan rumah tangga mereka sendiri, menjadi terancam karena kepala daerah akan kesulitan membentuk tim yang solid dan efektif jika harus bergantung pada keputusan pemerintah pusat untuk setiap pengangkatan dan pemindahan pejabat tinggi di wilayah mereka.

Hal itu berpotensi menciptakan kemandulan di tingkat daerah karena ketergantungan yang berlebihan pada keputusan pusat. Lebih jauh, sentralisasi itu bisa dianggap sebagai langkah mundur yang bertentangan dengan semangat UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang didesentralisasikan.

Akibatnya, kepala daerah dapat kesulitan mewujudkan program-program yang telah dijanjikan kepada pemilih mereka saat kampanye karena tidak memiliki kontrol penuh atas aparat birokrasi di wilayah mereka. Itu bukan hanya soal distribusi kekuasaan, melainkan juga soal efektivitas pemerintahan daerah dan realisasi janji-janji demokrasi di tingkat akar rumput.

Kedua, terhadap meritokrasi. Meskipun bisa jadi tujuannya mulia, yakni untuk menjamin bahwa hanya ASN yang benar-benar kompeten dan berprestasi yang menduduki posisi puncak, sentralisasi kewenangan mutasi itu justru menyimpan paradoks yang berbahaya. Ia berpotensi membuka celah yang lebih lebar bagi praktik patronase dan klientelisme di tingkat pusat. Kekuasaan yang terpusat di tangan presiden untuk menentukan siapa menduduki jabatan eselon I dan II di seluruh Indonesia, tanpa mekanisme pengawasan yang benar-benar kuat dan independen, sangat rentan terhadap intervensi politik.

Dalam konteks itu, ASN yang berprestasi di daerah, yang telah menunjukkan dedikasi dan kemampuan luar biasa dalam melayani masyarakat di wilayah mereka, bisa saja tersisih bukan karena kekurangan kompetensi, melainkan karena tidak memiliki kedekatan atau koneksi dengan lingkaran kekuasaan di Jakarta.

Sebagaimana diungkapkan Agus Pramusinto, Guru Besar Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), akar masalah sering kali terletak pada perilaku pejabat pembina kepegawaian, bukan pada status kepegawaian ASN itu sendiri. Memindahkan kewenangan ke pusat, tanpa mengatasi potensi subjektivisme dan kepentingan politik dalam penunjukan, tidak serta-merta menghilangkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Justru, ia hanya memindahkannya dari tingkat lokal ke tingkat nasional, dengan potensi dampak yang lebih luas dan sistemis.

Kita diingatkan kembali oleh Dhakidae dalam buku yang sama, tentang bagaimana kekuasaan dapat membentuk dan memengaruhi lanskap intelektual dan birokrasi. Dalam konteks revisi UU ASN itu, kita perlu mewaspadai, apakah usul itu benar-benar bertujuan memajukan meritokrasi ataukah justru menjadi alat untuk memperkuat kontrol politik atas birokrasi, dengan loyalitas kepada penguasa menjadi pertimbangan utama di atas kompetensi dan prestasi. Sentralisasi kekuasaan, tanpa checks and balances yang memadai, selalu membawa risiko tergerusnya prinsip-prinsip meritokrasi yang sehat dan objektif.

Ketiga, terhadap pemberantasan korupsi. Sentralisasi kewenangan yang tidak diimbangi dengan mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat justru berpotensi secara signifikan meningkatkan risiko korupsi. Ketika kewenangan untuk mengangkat, memberhentikan, dan memindahkan pejabat tinggi, eselon I dan II, di seluruh Indonesia terpusat di satu tangan, yaitu presiden, tanpa adanya pengawasan independen yang efektif, terciptalah konsentrasi kekuasaan yang sangat besar. Kondisi itu bisa menjadi lahan subur bagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tingkat pusat.

Sejarah birokrasi Indonesia mencatat model lama yang sarat dengan praktik KKN, dengan penunjukan jabatan sering kali didasarkan pada kedekatan personal atau proteksionisme politik, bukan pada kompetensi dan integritas. Kita tentu tidak ingin birokrasi kita kembali ke era tersebut, dengan pelayanan publik menjadi korban kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Usep Hasan Sadikin, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), bahkan secara eksplisit khawatir bahwa jika sentralisasi itu diterapkan, Indonesia akan memiliki masalah korupsi yang lebih berat karena kewenangan yang terlampau besar akan membuat implementasi kebijakan menjadi lebih sulit diawasi. Tanpa adanya pengawasan dan penyeimbang yang memadai, keputusan-keputusan terkait dengan promosi dan mutasi jabatan bisa saja didikte pertimbangan-pertimbangan nonmeritokratis, termasuk subordinasi pada kepentingan tertentu yang berpotensi koruptif.

Oleh karena itu, menjadi sangat krusial untuk memastikan bahwa jika revisi itu sungguh bertujuan meningkatkan efisiensi dan meritokrasi, harus ada jaminan yang kuat terkait dengan transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas bagi para pemegang kewenangan.

Penguatan kembali peran lembaga pengawas independen seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang sayangnya dihapuskan UU ASN 2023, menjadi semakin mendesak untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi di birokrasi. Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, mutasi sentralisasi kewenangan justru bisa menjadi bumerang bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

PENTINGNYA KESADARAN PUBLIK DAN ASN

Lalu, apa yang perlu disampaikan kepada publik, terutama kepada para aparatur sipil negara? Revisi UU ASN itu bukan sekadar perubahan teknis dalam manajemen kepegawaian. Itu ialah isu mendasar yang menyangkut arah tata kelola negara kita. Para ASN, sebagai garda terdepan pelayanan publik, harus menyadari potensi dampak perubahan itu terhadap karier d...

Read Entire Article