
Ketergantungan Indonesia terhadap pasar ekspor tradisional seperti Amerika Serikat kini menjadi perhatian serius pemerintah. Di tengah dinamika global dan kebijakan proteksionisme seperti tarif impor dari Presiden AS Donald Trump, Indonesia mulai memutar haluan yakni dengan memperluas jangkauan ekspor ke pasar-pasar nontradisional.
Pemerintah AS secara resmi telah menetapkan tarif impor sebesar 32 persen terhadap seluruh produk asal Indonesia yang masuk ke pasar mereka, efektif mulai 1 Agustus 2025. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Presiden Donald Trump melalui surat berkop Gedung Putih tertanggal 7 Juli yang ditujukan kepada Presiden RI Prabowo Subianto.
Kebijakan tarif tersebut disebut sebagai kelanjutan dari kebijakan tarif resiprokal yang telah diumumkan sebelumnya pada April. Meski negosiasi dagang antara Indonesia dan AS masih terus berjalan, Trump menegaskan bahwa tarif 32 persen akan tetap diberlakukan.
Langkah ini memicu kekhawatiran para eksportir di dalam negeri. Apalagi, selama ini Amerika Serikat menjadi salah satu pasar utama produk ekspor Indonesia.
Sebagai langkah antisipasi, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) mulai mendorong ekspansi ekspor ke negara-negara nontradisional seperti Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, hingga Eropa Timur.
“Di sinilah peran program Penugasan Khusus Ekspor (PKE), bagaimana kita memperluas pasar ekspor tidak hanya ke negara tradisional, tetapi juga nontradisional,” kata Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Tony Prianto di Ballroom Hotel Meruorah Labuan Bajo, Kamis (10/7).

Ia menyadari, ekspor ke negara konvensional selama ini memang lebih nyaman secara infrastruktur dan skema logistik. Tapi kondisi itu justru membuat Indonesia sangat rentan bila terjadi guncangan di satu atau dua negara besar.
“Kalau kita terus bergantung pada satu atau dua pasar besar, risiko akan semakin tinggi ketika terjadi gejolak. Dengan memperluas pasar, kita bisa menjaga keberlanjutan ekspor nasional,” tegas Tony.
Program Penugasan Khusus Ekspor (PKE) dirancang untuk memberikan solusi pembiayaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia yang secara komersial layak namun belum bisa dibiayai oleh perbankan karena dianggap berisiko tinggi atau nonbankable.
“Kalau ekspor ke negara konvensional tujuan ekspor kita mungkin sudah nyaman infrastruktur dan asuransinya, semuanya sudah in place. Tapi, kalau ke negara seperti Zimbabwe, eksportir masih agak deg-degan, apakah uangnya dikeluarkan. Di sini fungsi PKE,” jelas Tony.

Program ini menggunakan skema National Interest Account (NIA) yang memberikan proteksi berupa asuransi dan penjaminan. Pemerintah menugaskan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank untuk menyalurkan pembiayaan tersebut.
Hingga Juni 2025, LPEI telah menyalurkan pembiayaan senilai Rp 26 triliun untuk program PKE, dengan cakupan ekspor ke lebih dari 90 negara. Hasilnya, program ini menyumbang devisa sebesar 4,18 juta dolar AS atau setara Rp 66,3 triliun. Komoditas yang diekspor pun sangat beragam, mulai dari pesawat terbang, kereta api, vaksin, alat kesehatan, hingga produk makanan olahan dan kimia.
“Ekspor ke pasar konvensional relatif nyaman karena infrastruktur, asuransi, dan shipping-nya sudah in place. Namun, kalau ke negara-negara seperti Fiji, mungkin Zimbabwe, pelaku ekspor sering menghadapi tantangan besar. PKE memberikan jaminan dan pembiayaan,” ujar Tony.
Dalam kesempatan yang sama, Plt Direktur Pelaksana Pengembangan Bisnis LPEI, Maqin U Norhadi, menegaskan bahwa strategi ekspor ke negara nontradisional sebenarnya telah dirancang jauh sebelum kebijakan tarif Trump diumumkan.
“PKE Kawasan ini sudah diarahkan ke Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Ini adalah langkah antisipatif yang sudah berjalan bahkan sebelum ada kebijakan tarif dari Presiden Trump,” kata Maqin.